17/12/22

MENILIK KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH HARJOKUNCARAN


Konflik menunjuk pada interaksi sosial yang melibatkan perjuangan klaim terhadap sumber daya, dominasi, status, kepercayaan, preferensi, dan keinginan lainnya. Jelas bahwa sumber konflik yang tidak terbatas, tujuan, ruang lingkup, intensitas, metode, jumlah peserta dan hasil dapat bervariasi. Dalam hal ini, konflik merupakan fenomena alamiah dalam hubungan sosial yang harus sealami dan serasi juga. Ada banyak definisi konflik karena ada banyak hal juga untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Beberapa definisi menyatakan bahwa konflik adalah dimana-mana perbedaan yang jelas dan dapat dirasakan dalam situasi tertentu yang menimbulkan emosi sebagai akibatnya (Na’im, 2021). Pendapat lain lebih menitikberatkan pada fenomena yang berkaitan dengan tujuan kompetitif seperti interupsi yang disengaja dengan tujuan lain (Kusworo, 2019). Menurut Wahyudi (2015), pertama, ada atau tidaknya konflik hanyalah masalah persepsi. Perbedaan itu mungkin dirasakan tidak nyata, tetapi jika perbedaan itu nyata dan tidak dapat dirasakan, maka tidak boleh ada konflik. Tema umum kedua adalah adanya ketergantungan di antara pihak-pihak (masing-masing pihak memiliki potensi untuk menginterupsi pihak lain). Ketiga, adanya hambatan, pertentangan, dan kelangkaan sumber daya, seperti uang, dominasi dan prestise yang terbatas. Kelangkaan ini menimbulkan konflik. Rosana (2015), dalam kajian definisi yang komprehensif menyatakan bahwa konflik terjadi jika terjadi ketidaksepakatan antara dua kelompok yang memiliki entitas sosial tertentu. Selanjutnya, Fariani (2020) memperluas definisi konflik sebagai proses interaktif dalam ketidaksesuaian, perbedaan pendapat atau disonansi di dalam atau di antara entitas sosial.

Status hak milik Desa Harjokuncaran ditetapkan pada tanggal 7 Maret 2003 di Pendopo Agung Kabupaten Malang, berdasarkan Surat Keputusan Pangdam Brawijaya tanggal 3 Maret 2004 nomor: Skep/48/III/2004 tentang kemerdekaan. sebagian tanah perkebunan C.O.Telogorejo Pusat Koperasi Angkatan Darat Kodam V/Brawijaya seluas 179.948 ha dari Panglima TNI sampai Bupati Malang. Selanjutnya, penyerahan pengelolaan lahan (179.948 ha) dilakukan pada tahun 2005 dari pemerintah Kabupaten Malang kepada pemerintah desa Harjokuncaran (Pemuka Desa Harjokuncaran, 2012). Pihak Kopram Kodam V/Brawijaya mengusulkan penggantian kerugian investasi terhadap perkebunan di atas tanah sebesar Rp 207.879.825,- (TNI, 2019)

Merujuk pada catatan status tanah di Desa Harjokuncaran, dapat disimpulkan hingga saat ini belum ada penyelesaian. Artinya, tanah sebagai cagar budaya masih menjadi kontroversi. Ketidakpastian ini sebagai bentuk kekecewaan warga Harjokuncaran terhadap Pemerintah Kota Malang yang tidak mampu menuntaskan kasus ini. Sertifikat diharapkan dapat dibuat untuk mendapatkan hak yang sah atas kepemilikan tanah. Diharapkan juga tidak ada tuntutan atas tanah yang menimbulkan perlawanan antara desa Harjokuncaran dengan pihak pusat koperasi tentara Kodam V/Brawijaya.

Kasus pertanahan di desa Harjokuncaran telah ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Malang. Namun, hingga saat ini belum menemukan solusi yang baik. Peran Badan Pertanahan Nasional tidak hanya sebagai mediator tetapi juga sebagai legalisasi aset. Namun demikian, perbedaan sudut pandang tersebut akan menimbulkan konflik bagi kedua belah pihak yang memiliki argumentasi yang kuat. Asosiasi petani memilih cara untuk melawan penggunaan kekerasan fisik. Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Malang belum menjadi pembuat keputusan karena termasuk kasus yang tidak biasa. Seperti biasa, kasus ini dilakukan dengan mediasi, namun badan pertanahan menyerahkan kasus tersebut ke pusat. Menurut sejarah, tidak ada kasus militer yang dibawa ke pengadilan, baik dalam bentuk perdata maupun urusan negara. Peran badan pertanahan sangat penting. Tanah yang diperoleh warga dibagikan kembali pada zaman Moh.Yamin. Pasalnya, generasi penerus (Hadi Suyatno) belum mendapatkan redistribusi dari Pusat Koperasi Angkatan Darat melalui badan pertanahan. Kasus ini membuat warga kecewa karena tidak ada hasil setelah dilakukan musyawarah untuk memediasi hak yang seharusnya mereka dapatkan (Tempo, 2012).

Letter C atau nota tanah adalah sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabupaten Malang. Soal sertifikat hanya soal selembar kertas. Namun, nilainya tinggi karena terkait dengan kepemilikan orang yang disahkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Harus dilihat dari faktor yang mendorong karena terkadang digunakan untuk kepentingan politik. Negara tidak mau menjamin hak warga negara.

Tidak hanya pihak eksekutif yang peduli terhadap konflik ini, pihak legislatif juga melakukan hal yang sama. Pada tanggal 9 Juli 2012 telah dilakukan rapat koordinasi di lingkungan pemerintah daerah di Kabupaten Malang. Rapat tersebut dihadiri Bupati Malang dan seluruh unsur DPRD Kota Malang. Hasil rapat menyebutkan bahwa pihak Pusat Koperasi Angkatan Darat menyebutkan luas tanah 925,41 ha, dan 179 ha diberikan kepada pemerintah kota Malang yang kemudian diberikan kepada Desa Harjokuncaran. Keputusan rapat tersebut menghasilkan seluruh tanah dikuasai Pusat Koperasi Angkatan Darat seluas 625 ha. Pihak Pusat Koperasi Angkatan Darat telah memberikan bagian utara seluas 75 ha kepada para petani, dan bagian selatan sekitar 179 ha diberikan kepada Kabupaten Malang. Itu kemudian didistribusikan kembali ke pemerintah desa Harjokuncaran. DPRD sebagai perwakilan dalam pemerintahan. Persoalan itu tak kunjung jelas sejak rapat digelar kembali pada 12 Juli 2012. Rapat tersebut mengundang komisi A DPRD Kabupaten Malang. Pemangku kepentingan tanah diminta hadir dalam rapat untuk membahas tanah bekas C.O Telogorejo seluas ±625 ha yang terletak di Desa Harjokuncaran yang dikuasai oleh Kodam V/Brawijaya.

Mediasi tersebut dihadiri oleh beberapa orang penting seperti Komisioner Komnas HAM (Nur Kholis), Dandim 0818 Letkol A. Solihin dan Pusat Koperasi Angkatan Darat Kodam V/ Brawijaya, Ketua DPRD (Drs. Hari Sasongko) dan Komisi A, Pemerintah Kota Malang, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta beberapa perwakilan warga. Nur Kholis menjelaskan bahwa mediasi kedua dilaksanakan berdasarkan usulan pengelolaan lahan Kodam V/Brawijaya tertanggal 10 Mei 2013 no: 027/PG-KT/05/2013 yang ditandatangani oleh Bapak Hadi Suyatno dan Bapak Harianto. Keduanya merupakan perwakilan dari Gabungan Kelompok Tani Desa Harjokuncaran. Mereka mewakili 1.059 warga Harjokuncaran. Masalah utama dari proposal tersebut adalah untuk mengelola lahan seluas 529,5 Ha yang dimiliki oleh setiap penduduk ±5000m².

Pada mediasi kedua, warga hanya ingin mengelola lahan bukan untuk dimiliki. Penduduk lebih damai dalam situasi ini. Hal itu disambut baik oleh sumur Dandim 0818. Ia berkata, “Kami senang dengan kondisi hari ini. Warga lebih tentram karena sudah mengakui tanah itu sekarang milik Kodam V/Brawijaya.”

Gerakan sosial tersebut merupakan aksi bentrok antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat Kodam V/Brawijaya. Itu ungkapan kekecewaan warga. Mereka membuat spanduk dan plang bertuliskan “Tanah Milik Kodam V/Brawijaya”. Kasus ini memunculkan perjuangan. Potensi ini melahirkan gerakan sebagai bentuk kekecewaan warga Desa Harjokuncaran. Badan pertanahan nasional telah berkali-kali melakukan mediasi untuk mencari solusinya. Namun mediasi tersebut tidak dihadiri oleh pihak TNI AD Kodam V/Brawijaya bahkan sudah diundang berkali-kali.


REFERENSI

Fariani, E. (2020). Modul Manajemen Risiko. LAN RI.

Kusworo. (2019). Manajemen Konflik dan Perubahan dalam Organisasi. Cakrawala. Retrieved from https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results

Na’im, Z. (2021). Manajemen Konflik. Penerbit Yayasan Kita Menulis. https://doi.org/10.32478/leadership.v2i2.720

Rosana, E. (2015). Konflik pada Kehidupan Masyarakat (Telaah Mengenai Teori dan Penyelesaian Konflik Pada Masyarakat Modern). Al-AdYan, 10(2), 216–230.

Tempo. (2012). Komnas HAM Selidiki Konflik Tanah di Harjokuncaran. Tempo.Co. Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/421171/komnas-ham-selidiki-konflik-tanah-di-harjokuncaran

TNI. (2019). Sesepuh Kodam V/Brawijaya Berkumpul di Malam Sarasehan Pendopo Agung Trowulan. TNI Adalah Kita. Retrieved from https://tni.mil.id/view-166780-sesepuh-kodam-vbrawijaya-berkumpul-di-malam-sarasehan-pendopo-agung-trowulan.html

Wahyudi, A. (2015). Konflik, Konsep Teori Dan Permasalahan. Jurnal Publiciana, 8(1), 1–15.


09/04/21

Mengaitkan Kasus Erigo dengan Keefektifan Hukum di Indonesia

 Pada bulan Juni tahun 2020, Indonesia dihebohkan dengan kasus plagiarisme yang dilakukan oleh brand lokal bernama Erigo. Desain jaket bergambar harimau yang dibuat oleh Erigo ternyata menjiplak karya seorang seniman dari Polandia yang bernama Nora Potwora. Kasus ini ramai ketika Nora Potwora mengunggah kesamaan desain Erigo dengan hasil karyanya di akun Twitter pribadinya. Potwora mengatakan bahwa hal ini tidak adil dikarenakan karyanya disalahgunakan untuk diperjual-belikan dan ia sudah mengomentari desain yang dibuat oleh Erigo, tetapi pihak Erigo mengabaikannya. Akibat cuitannya tersebut, kasus plagiarisme yang dilakukan Erigo menjadi viral di Twitter dan mendapat berbagai respon dari publik. Publik menilai bahwa tindakan Erigo merupakan suatu hal yang tidak pantas dilakukan kepada Potwora dan mereka cenderung mendukung tindakan Potwora dalam memperjuangkan haknya untuk meminta pertanggungjawaban dari pihak Erigo. Setelah kasus ini ramai dan mendapat perhatian dari warganet, akhirnya Erigo menanggapi unggahan Potwora dengan meminta maaf kepada Potwora melalui akun media sosial Erigo. Pihak Erigo juga menghubungi Nora Potwora secara personal dan mengatakan bahwa mereka akan bertanggung jawab atas insiden ini dengan memberikan hak penuh untuk hasil karyanya. 

Sayangnya, di Indonesia sendiri, kasus plagiarisme tidak hanya terjadi sekali pada kasus plagiarisme antara Erigo dengan Potwora, melainkan kasus plagiarisme sendiri masih marak dilakukan oleh beberapa oknum, baik itu plagiat dalam desain, karya lagu, karya tulis, dan masih banyak lagi. Maraknya kasus plagiarisme di Indonesia membuat pemerintah menetapkan undang-undang yang mengatur tentang kasus tersebut. Pasal mengenai plagiarisme dimasukkan ke dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Meskipun istilah plagiat tidak dicantumkan ke dalam pasal tersebut, tetapi pada praktiknya, plagiat dapat mengarah kepada pelanggaran hak cipta dikarenakan melanggar hak ekonomi maupun hak moral. Dalam sisi hak ekonomi, karya yang diplagiasi banyak digunakan untuk kepentingan komersial dan menguntungkan plagiator saja, bukan para pembuat karya aslinya. Sedangkan dalam sisi hak moral, tidak ada penyebutan sumber dan adanya perubahan ditujukan untuk kepentingan non komersial. Oleh karena itu, praktik plagiat dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta.  

Jika kita menelusuri lebih dalam, praktik plagiat tidak selalu berhubungan dengan desain, tetapi juga dilakukan terhadap karya lainnya seperti karya tulis. Di kampus misalnya, pihak akademisi menindak tegas kasus plagiarisme dengan memberlakukan hukuman dan ancaman kepada mahasiswa yang ketahuan melakukan plagiat. Peraturan yang tegas tersebut membuat mahasiswa menjadi memiliki perasaan untuk mentaatinya. Dampak dari adanya peraturan tersebut membuat orisinalitas karya tulis menjadi terjamin dan meningkatkan daya pikir mahasiswa. Namun, peraturan tersebut ditindak tegas hanya pada kampus-kampus yang terakreditasi A dan B. Selain dari itu, biasanya peraturan ini masih belum efektif untuk dijalankan oleh mahasiswa. 

Kembali ke kasus Erigo, sebetulnya masih banyak oknum yang memanfaatkan karya orang lain untuk keuntungan dan kepentingannya sendiri, terutama penjual yang bergerak dalam bidang fashion. Mereka menjual pakaian dengan desain jiplakan karya orang lain. Sayangnya, toko-toko atau brand lokal yang menggunakan karya orang lain untuk desainnya tidak ketahuan oleh masyarakat umum, tidak seperti Erigo yang ketahuan menjiplak karya orang lain dan mendapat respon dari warganet. Banyaknya toko-toko yang menggunakan karya orang lain pada desainnya membuat aksi ini lama-kelamaan dinormalisasikan oleh masyarakat. Bahkan, masih ada masyarakat yang membela plagiator dengan dalih bahwa plagiator tersebut hanya terinspirasi dan banyak oknum yang melakukan hal yang sama. 

Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa kasus plagiarisme yang dianggap normal oleh masyarakat merupakan salah satu bukti bahwa hukum masih belum efektif diterapkan di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh kurangnya tindakan tegas yang dilakukan oleh pihak berwajib. Bahkan dilihat dari sisi pihak berwajib, tindakan plagiarisme terkadang bukan suatu masalah yang besar sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Padahal, setiap individu dari berbagai lapisan masyarakat memiliki hak-haknya sebagai warga, salah satunya hak cipta. Orang-orang yang karyanya dijiplak oleh orang lain seharusnya mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. 

Jika kita mengaitkan kasus plagiarisme dengan pendekatan hukum dan masyarakat, kita bisa mengetahui melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif mengkaji hukum dengan teknologi hukum dan dapat mengetahui hukuman dari persoalan tertentu, serta kita dapat mengetahui solusi yang tepat untuk menerapkan peraturan hukum tersebut. Sedangkan, pendekatan yuridis empiris mengkaji hukum dalam kenyataannya di dalam kehidupan masyarakat dan bagaimana hukum dipraktikkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, kita dapat mengetahui bahwa kasus Erigo merupakan pelanggaran UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hukuman bagi pelanggar yang melakukan aksi ini adalah pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebanyak Rp500.000.000. Agar hukuman ini berlangsung secara efektif, pemerintah seharusnya menindak tegas para pelanggar hukum dan melindungi para penghasil karya. Tegasnya hukuman yang berlaku bisa membuat masyarakat menjadi waspada dalam bertindak selayaknya mahasiswa yang waspada dalam menghasilkan karya tulisnya akibat adanya peraturan yang tegas dari kampus. Jika kita menggunakan pendekatan yuridis empiris, hukuman plagiat merupakan suatu tindakan yang dianggap normal oleh masyarakat setempat dan dipraktikkan secara tidak tegas, baik pihak plagiator maupun pihak berwajib. Sehingga, penulis—sekali lagi—berpendapat bahwa kasus plagiarisme merupakan salah satu bukti bahwa hukum tidak berjalan secara efektif di Indonesia. 




Sumber Referensi


Bahar, A. (2020). Soal Desain Produk Mirip Karya Ilustrator Lain, Erigo: Masalah Ini Sedang Dalam Proses Penyelesaian. Diakses pada 9 April 2021, dari https://hai.grid.id/read/071996912/soal-desain-produk-mirip-karya-ilustrator-lain-erigo-masalah-ini-sedang-dalam-proses-penyelesaian?page=all

Kemenkumham. (2002). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. 85(3), 601–602.

Keterkaitan Rendahnya Kualitas Guru di Indonesia dengan Pemikiran Talcot Parson

Setiap tahun, Indonesia selalu dihadapi dengan berbagai polemik dalam sistem pendidikannya. Baik itu perubahan kurikulum yang cenderung berbeda dari tahun sebelumnya, penghapusan Ujian Nasional di sekolah, sistem full day school, hingga beberapa isu yang sampai saat ini menjadi suatu problematika yang kerap dirasakan oleh beberapa sekolah di Indonesia, seperti kurangnya sarana dan prasarana sekolah, dan lain-lain. Namun, pada penulisan essay kali ini, penulis memfokuskan penulisan ke suatu persoalan yang hingga saat ini belum ada titik terangnya, yaitu mengenai kualitas pengajar di Indonesia yang cenderung memprithatinkan. 

Topik ini dipilih penulis sebagai topik utama dalam penulisan karena dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, pengalaman penulis sebagai seorang pelajar. Sebagai seorang pelajar yang pernah bersekolah di sekolah negeri dan swasta, penulis mendapati satu hal yang cukup kontras dari kedua sekolah tersebut jika dibandingkan satu sama lain, yaitu berkaitan dengan cara mengajar dan kerajinan guru sebagai tenaga pengajar. Tanpa menyudutkan sekolah negeri, penulis kerap kali mendapatkan guru yang kurang kompeten dalam mengajar dan cenderung hanya berorientasi pada nilai. Selain itu, di sekolah negeri, penulis kerap mendapatkan banyak waktu kosong pada saat kegiatan belajar mengajar yang disebabkan oleh guru yang tidak mengajar pada jamnya. Berbeda dengan sekolah swasta, tenaga pengajarnya cenderung lebih memperhatikan murid-muridnya. Namun, pandangan subjektif penulis ini tentunya tidak dapat disimpulkan begitu saja sebab di sekolah negeri sendiri, masih terdapat guru yang mengajar dengan penuh perhatian kepada murid-muridnya.  Latar belakang yang kedua adalah mengacu pada data Programme for International Student Assessment (PISA) yang dikutip dari magdalene.co. Data PISA pada tahun 2018 menunjukkan skor membaca pelajar Indonesia berada di titik terendah selama mengikuti PISA sejak tahun 2000. Siswa dengan kompetensi Matematika dasar rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA) berjumlah 71,9 persen - terburuk ke-7 dari 77 negara yang disurvei.

Mengacu pada latar belakang yang kedua, banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah kualitas guru yang cenderung memprihatinkan. Seperti yang kita ketahui, guru menjadi salah satu aspek penting dalam pendidikan karena mereka berpengaruh besar terhadap murid-muridnya. Jika guru memiliki sikap yang kurang terlatih dalam mengajar akan membuat murid kesulitan dalam menerima pemahamannya pada mteri yang dipaparkan pada pelajaran.

Salah satu rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah perekrutan guru yang belum memenuhi standar mutu pendidikan yang dibutuhkan, sehingga proses perekrutan tidak dilakukan oleh kompetisi yang maksimal dan menghasilkan output yang tidak professional. Hal ini juga didasari oleh pemerintah Indonesia yang hanya fokus terhadap tuntutan kebutuhan Aparatur Sipil Negara (ASN). Akibatnya, banyak guru yang akhirnya memiliki tingkat kompetisi yang rendah dan malas untuk mengajar. Jika hal ini tidak dibenahi oleh pemerintah Indonesia, peserta didiklah yang akan terdampak selanjutnya dan dapat menurunkan kualitas murid, baik itu kualitas dalam berpikir, literasi, maupun kreativitas. Selain itu, perekrutan guru masih berorientasi pada nilai yang menbuat guru hanya memiliki ilmu saja tanpa didukung oleh kesesuaian metode belajar yang akan dilakukan oleh mereka terhadap murid-muridnya.

Jika kita mengaitkan kasus di atas dengan salah satu pembahasan yang terdapat pada sosiologi pendidikan, penulis akan mengaitkan kasus di atas dengan pemikiran Talcott Parson yang membahas perspektif struktural fungsional. Sebelum mengaitkan dengan pemikiran Talcot, kita harus mengetahui bagaimana sosiologi pendidikan memandang isu ini. Sosiologi pendidikan memandang hal ini sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat (Khaldun, 1986). Salah satu teori yang menjadi paradigma dalam pendidikan adalah teori yang dikemukakan oleh Talcot, yakni teori struktural fungsional. Pada perspektif ini, fungsionalisme lebih banyak ditujukan kepada fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif (Rasyid, 2015). Talcot Parson memandang sekolah berfungsi sebagai sarana sosialisasi dan sebagai seleksi dan alokasi, di mana sekolah memotivasi murid-murid untuk mendapat apa yang mereka inginkan dan mempersiapkan diri dalam dunia pekerjaan. Selain itu, sekolah juga dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul (Rasyid, 2015). 

Namun pada kenyataannya, teori struktural fungsionalis tidak berjalan sesuai dengan fungsi sekolah yang dikatakan Taloct Parson. Memang benar, murid-murid di sekolah diberi motivasi untuk menghadapi dunia kerja di masa yang akan datang. Hanya saja, hal itu tidak berjalan dengan bekal yang diberikan guru oleh murid. Murid di Indonesia kurang memiliki bekal berupa pemikiran terhadap nalarnya, minat dan bakat, maupun keahlian tertentu yang dipengaruhi oleh salah satu faktor, yaitu kurangnya kualitas guru itu sendiri. Sehingga, penulis berpendapat bahwa masalah ini harus segera diselesaikan agar kualitas pendidikan Indonesia semakin meningkat dan menghasilkan SDM yang berkualitas dan kompeten. Teori struktural fungsional dapat dijadikan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia agar sekolah dapat berfungsi sebagai sarana sosialisasi, seleksi, dan alokasi. 



Referensi

Khaldun, I. (1986). Muqaddimah Ibnu Khaldun. Pustaka Firdaus.

Nabila, A. (2019). Kualitas Guru Indonesia Masih Rendah?. Diakses pada 10 April 2021, dari https://www.kompasiana.com/angginabila2790/5dc9019cd541df48c772cb44/kualitas-guru-indonesia-masih-rendah

Rasyid, M. R. (2015). Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi. Rasyid Tarbiyah Dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Sultan Alauddin No. 36 Samata Gowa, 2(PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI), 274–286.

Revina, S. (2020). Mengapa Kualitas Guru di Indonesia Masih Rendah?. Diakses pada 10 April 2021, dari https://magdalene.co/story/mengapa-kualitas-guru-di-indonesia-masih-rendah


 

06/10/20

Self-diagnose itu Berbahaya Gak Sih?

Pernah gak sih kita melihat postingan-postingan yang berbau depresi pada linimasa media sosial kalian? Pastinya pernah dong. Karena penulis pun pernah menemukannya. Jika sedang melihat postingan tersebut, kadang kita berpikir bahwa postingan tersebut terasa seperti "kita banget". 

"Hahaha ini mah gue banget, kayaknya gue depresi deh"

"Gue tuh moodyan orangnya. Sepertinya gue bipolar deh"

"Gue makan bubur diaduk! Fix gue psikopat"

Bentuk-bentuk ekspresi diatas tanpa kita sadari menunjukkan bahwa kita termasuk orang yang sedang mendiagnosis kondisi kesehatan mental diri sendiri atau bahasa kecenya ialah self-diagnose. Kondisi mendiagnosis diri sendiri semakin marak dilakukan oleh generasi sekarang karena hadirnya internet di tengah kehidupan. Kita dengan mudahnya mencari gejala-gejala suatu penyakit mental di internet. Tapi pernah gak kalian kepikiran bahwa itu sebenarnya boleh dilakukan atau enggak sih?

Sebelum penulis mengajak kalian lebih dalam untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan memberi kalian definisi tentang self-diagnoeseMengutip dari www.whiteswanfoundation.org bahwa, “Self-diagnosing is the process of diagnosing your illness, whether physical or mental, on the basis of past experiences or information available on popular media, such as internet or books. Intinya, self-diagnose adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang kalian dapatkan secara mandiri. Saat mendiagnosis diri, kalian menyimpulkan suatu masalah kesehatan fisik maupun psikologis dengan berbekal informasi yang kalian miliki. 

Lalu sebetulnya boleh tidak sih mendiagnosis diri sendiri?

Penulis menyarankan untuk tidak dilakukan. Jika kalian ingin mempunyai gambaran bahwa kalian terkena penyakit mental atau tidak, sebaiknya segerakan untuk pergi ke dokter atau psikiater. Mereka lebih ahli dalam bidangnya. Menjadikan internet sebagai acuan dalam menggambarkan kondisi mental itu bukanlah hal yang tepat. Kevalidan datanya masih dipertanyakan mengingat terdapat studi tersendiri untuk ini dan terdapat ahli pada bidangnya. Internet masih bisa diakses dan ditulis oleh siapa saja, karena itu, kevalidan datanya belum tentu tepat. 

Kalau begitu, ada dampaknya gak kalau kita mendiagnosis diri sendiri?

Tentu saja ada, dampak mendiagnosis kesehatan mentan diantaranya :

1. Misdiagnosis

Kekeliruan seseorang dalam mendiagnosis diri sendiri tanpa bantuan seseorang yang ahli dalam bidangnya akan menghasilkan misdiagnosis. Contohnya adalah seseorang yang moodyan dan mengira bahwa mereka menderita BPD. Padahal, BPD dengan moody sangat berbeda. Misdiagnosis ini sendiri akan berbahaya untuk tindakan lainnya. Misal, seseorang bisa menyebarkan info yang kurang valid ke orang lain tentang kondisi penyakit mental yang nantinya akan memperburuk suasana. 

2. Salah penanganan

Dari misdiagnosis tersebut, kemungkinan penanganannya juga akan salah. Besar peluang seseorang yang misdiagnosis bingung bagaimana cara menanganinya, terutama dalam pengobatannya. Bisa saja ketika kamu sedang self-diagnose dan langsung minum obat yang berkaitan dengan kesembuhan mental kamu, malah memperburuk keadaan karena minum obat tanpa resep psikiater. Tentunya itu sangat berisiko terhadap kesehatan.

3. Memicu gangguan kesehatan yang lebih parah

Orang yang tadinya bisa jadi tidak punya gangguan kesehatan mental, malah bisa menjadi terkena gangguan kesehatan mental. Sebagai contoh, salah satu dari kalian mengalami insomnia. Lalu kalian melakukan pencarian tentang hal tersebut dan kalian menemukan bahwa gejala depresi salah satunya adalah insomnia. Tiba-tiba kalian merasa khawatir dan kepikiran akan hal tersebut. Rasa khawatir tersebut malah berisiko untuk kalian mengalami depresi. Padahal sebelumnya kalian tidak mengalami hal tersebut, namun karena kalian terlalu khawatir, kalian jadi berisiko terkena gangguan mental tersebut.

Namun, mengentengkan segala sesuatu juga salah. Misalnya kamu mengalami sesuatu dan segera mencari informasi tersebut ke internet, lalu internet berkata bahwa kondisi yang kamu alami sekarang bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan, kamu jadi meragukan gejala yang kamu alami. Selanjutnya, kamu akan merasa denial. Kondisi itu dikhawatirkan akan memperparah kondisi kamu jika kamu tidak segera mendapat pertolongan.

4. Mengabaikan perasaan penyintas gangguan mental

Misalnya kamu merasakan gejala depresi berdasarkan hasil pencarianmu di internet, lalu kamu mengumumkan bahwa kamu mengalami depresi di depan orang yang punya depresi major kronis atau mereka yang berusaha membaik, bagaimana kira kira perasaan mereka? Mereka sedang menyembuhkan diri mereka, tetapi kamu langsung melabeli diri bahwa kamu depresi. Mereka (penyintas) juga pasti ingin hidup normal. 

Jika kamu merasa ada yang salah dengan dirimu, sebaiknya langsung adukan gejala tersebut ke psikiater. Terutama untuk kalian yang merasa :

- Ingin bunuh diri

- Selalu merasa murung dan sedih

- Merasa sulit konsentrasi dan selalu linglung

- Cemas yang tidak wajar, khawatir secara ekstrem, atau merasa bersalah tanpa sebab

- Perubahan suasana hati yang konstan

- Kehilangan minat terhadap sesuatu yang disukai (hobi/passion)

- Tiba-tiba semangat tapi tidak lama kemudian merasa hambar

- Sangat lelah walaupun tidak melakukan apa-apa

- Kesulitan tidur atau tidak bisa tidur sama sekali

- Berhalusinasi. Paranoid. Sukar membedakan mana kenyataan dan mana ilusi

- Stres karena tugas-tugas mendasar

- Tidak mampu menyelesaikan aktivitas ringan yang biasa dilakukan

- Sulit memahami situasi sekitar

- Merasa tidak dimengerti orang lain

- Nafsu seksual yang sulit ditahan (bisa jadi berbentuk dorongan untuk melakukan masturbasi beberapa kali dalam sehari)

- Sering marah karena hal sepele

- Dorongan melukai diri sendiri (cutting, membenturkan kepala ke tembok, sengaja mogok makan dan tidak tidur)

- Perilaku destruktif (merusak barang-barang)

- Membunuh hewan-hewan kecil tanpa merasa bersalah

- Kecanduan alkohol dan obat

Besar kemungkinan kamu mengalami gangguan. Mencari solusi di internet bukanlah jalan yang terbaik. If you're truly believe that you have the symptoms, go seek for professional help.

27/09/20

Yuk belajat mencintai diri sendiri

“Coba kalau muka aku cantik, pasti dia suka sama aku”

Setiap perempuan pasti pernah merasakan jatuh cinta. Perasaan itu akan tumbuh ketika kita menginjak masa remaja. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa, maka tak heran, di masa remaja, kita akan cenderung berpikir labil akibat keinginan yang kuat dalam mencari jati diri. Pada saat remaja jugalah, kita akan merasakan jatuh cinta. Sayangnya, perasaan cinta itu kadang tidak terbalas. Disaat itulah, kita akan menganggap bahwa doi tidak menyukai kita karena kita kurang cukup untuknya, terutama soal fisik dan selanjutnya perasaan insecure muncul di dalam diri kita.

Self love is a hard thing to do!

Dari kejadian sederhana diatas, kita akan selalu merasa diri kita kurang dan selalu merasa insecure. Hal ini juga makin diperparah dengan adanya standar kecantikan yang terbentuk dalam masyarakat. Di Indonesia sendiri, banyak orang yang beranggapan bahwa perempuan yang berkulit putih akan dianggap cantik. Selain kulit yang putih, standar kecantikan lain yang sering disebutkan oleh warganet adalah badan ramping, muka yang glowing, dan lain-lain. Tingginya standar kecantikan tersebut membuat perempuan menjadi selalu merasa insecure


Standar kecantikan yang entah tiba-tiba terbentuk di dalam masyarakat itu semakin diperparah dengan tindakan masyarakat yang kerap kali menghujat fisik seseorang atau biasa kita kenal sebagai body shaming. Penlis sendiri pun pernah mendapat kata-kata yang mengarah pada body shaming itu sendiri, seperti “kok lo gendutan sekarang?” “kenapa jadi berjerawat gitu muka lo?” dan lain-lain. Omongan-omongan yang dilontarkan orang yang saya percaya membuat saya selalu merasa kurang, dan saya yakin, bukan hanya saya yang merasakan seperti itu, perempuan di luar sana pasti pernah merasakannya. 


Keadilan sosial bagi orang yang good-looking!

Pasti sebagian kalian pernah mendengar kata-kata diatas dan pernah berpikir bahwa hal itu benar dikarenakan orang yang good-looking mempunyai privilese yang sangat banyak. Manusia yang dianggap sebagai good-looking person dianggap cenderung mudah diterima oleh sosial dan dengan mudah mendapat atensi yang banyak dari publik. Keadaan tersebut menyebabkan seseorang sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang-orang yang dianggap good-looking. Selanjutnya, mereka mulai menyalahkan keadaan dan juga menyalahkan orang lain. Contoh sederhananya bisa ditemukan pada media sosial. Ketika orang yang dianggap good-looking mengatakan bahwa ia insecure akan langsung dihujat oleh netizen. Padahal, insecurity bisa dirasakan oleh siapapun di dunia ini.


Untuk kalian yang sedang/pernah merasa insecure dan pernah berada di posisi itu, kalian harus ingat bahwa kalian tidak bisa terus-terusan menyalahkan diri kalian. Pada kenyataannya, fisik bukanlah segala-galanya. Yakinlah bahwa masih banyak orang yang akan menerima segala kekurangan kalian. Mungkin kalian belum menemukan orang yang penulis maksud. Suatu saat nanti, akan ada seseorang tulus menerima kalian. Saya sendiri sedang merasakan seperti itu. Saya selalu merasa diri saya tidak cantik, tetapi lingkungan sekitar saya masih bersikap baik pada saya. Dunia memang kadang tidak terlalu berpihak pada saya, tapi saya masih bisa bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang yang positif dan bermanfaat buat saya. Saya mempunyai sahabat, pacar, dan teman-teman yang selalu mendorong saya ke arah yang lebih baik. Jika kita tetap berlaku baik pada orang lain, maka akan banyak orang yang akan baik dengan kita juga. 


Every woman has its own beauty

Percaya atau tidak, setiap individu punya keunikannya masing-masing. Saya mempunyai gigi yang tidak rapi dan sering merasa itu sangat jelek, tetapi saya menerima kekurangan tersebut. Saya jadikan hal tersebut sebagai keunikan saya. Jangan terus-terusan melihat hal-hal yang buruk dari kita. Daripada bersikap seperti itu, sebaiknya kita menjadikan insecurity kita sebagai motivasi untuk terus berbenah diri dan menjadi versi terbaik bagi diri kita.  Pacar saya pernah berkata, "rawatlah diri kamu untuk kamu sendiri, bukan untuk menyenangkan orang lain". Sama ketika kita berolahraga, kita harus meyakinkan diri kita bahwa berolahraga itu semata-mata kesehatan, bukan untuk kurus. 


Semua wanita itu aslinya cantik. Saya sendiri terkadang merasa diri saya cantik, hanya saja saya belum glow up. Saya masih belum bisa membeli skincare karena saya merasa belum punya uang. Oleh karena itu, saya terus mengemban pendidikan untuk investasi diri saya di masa depan nantinya. Percayalah, semua orang akan glow up pada waktunya. Glow up juga bukan semata-mata hanya fisik. Arti glow up sendiri itu tergantung persepsi orang masing-masing. Bagi saya sendiri, glow up itu seperti menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, menjadi lebih pintar, memiliki kemampuan public speaking yang bagus, dan lain-lain.


Self love itu sebenarnya bukan hal yang sulit untuk dilakukan

Mencintai diri sendiri bukan berarti kamu pasrah dengan keadaan. Mencintai diri sendiri adalah perasaan dimana kita menyadari bahwa diri kita ini ialah individu yang berharga. Kita bisa menerima segala kekurangan yang ada dalam diri kita. Di sisi lain, self love juga mengajarkan kita untuk terus menghargai segala kelebihan dan kekurangan kita. Kita bisa mempergunakan kelebihan maupun kekurangan kita untuk hal yang bermanfaat. Kalian harus percaya bahwa manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Perlu diingat bahwa self love disini tidak sebatas pada fisik saja, melainkan menyadari kemampuan yang ada di dalam diri kalian. Bisa jadi kamu punya kemampuan yang tidak dimiliki oleh banyak orang, seperti kamu pintar berbahasa Inggris ataupun memiliki keunggulan dalam menggambar. Terus asah diri kamu, untuk menjadi versi terbaik bagi diri kamu.


Kamu adalah orang yang hebat. Karena itulah, kamu diciptakan. Jangan sering bernegative thinking pada diri sendiri. Saatnya untuk fokus pada pengembangan diri dan potensi yang kalian punya. Asah terus hingga akhirnya hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi kalian. 


Lalu bagaimana aku memulai untuk mencintai diri sendiri?

Self love bisa dilakukan dengan berbagai cara. Hal yang paling utama ialah treat yourself kindly and be kind to yourself. Kalian bisa memulai dengan menonton film kesukaan kalian, tidur yang cukup, membaca buku yang dapat menenangkan hati, dan masih banyak lagi. Lakukan kegiatan yang kalian sukai dan jadilah seseorang yang produktif. Ucapkan hal-hal yang baik pada diri sendiri. 



  • "Be proud of who you are, and not ashamed of how someone else sees you"


02/06/17

Bingung sama Tulisan Sendiri

Ha el jadi ceritanya saya kangen blog ini, yaudah tuh saya liat lagi blog ini. Nah abis itu pas saya lagi scroll saya inget dulu saya pernah tulis tentang mimpi aneh saya di blog ini. Sambil nostalgia saya baca lagi tuh, nih bagi kalian yang mau baca bisa lihat klik link nya aja http://khalisasaja.blogspot.co.id/2015/09/mimpi-macam-apa-ini.html

*diusahakan membaca post yang saya tulis dulu (link ada diatas) 

11/03/17