Konflik menunjuk pada interaksi sosial yang melibatkan perjuangan klaim terhadap sumber daya, dominasi, status, kepercayaan, preferensi, dan keinginan lainnya. Jelas bahwa sumber konflik yang tidak terbatas, tujuan, ruang lingkup, intensitas, metode, jumlah peserta dan hasil dapat bervariasi. Dalam hal ini, konflik merupakan fenomena alamiah dalam hubungan sosial yang harus sealami dan serasi juga. Ada banyak definisi konflik karena ada banyak hal juga untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Beberapa definisi menyatakan bahwa konflik adalah dimana-mana perbedaan yang jelas dan dapat dirasakan dalam situasi tertentu yang menimbulkan emosi sebagai akibatnya (Na’im, 2021). Pendapat lain lebih menitikberatkan pada fenomena yang berkaitan dengan tujuan kompetitif seperti interupsi yang disengaja dengan tujuan lain (Kusworo, 2019). Menurut Wahyudi (2015), pertama, ada atau tidaknya konflik hanyalah masalah persepsi. Perbedaan itu mungkin dirasakan tidak nyata, tetapi jika perbedaan itu nyata dan tidak dapat dirasakan, maka tidak boleh ada konflik. Tema umum kedua adalah adanya ketergantungan di antara pihak-pihak (masing-masing pihak memiliki potensi untuk menginterupsi pihak lain). Ketiga, adanya hambatan, pertentangan, dan kelangkaan sumber daya, seperti uang, dominasi dan prestise yang terbatas. Kelangkaan ini menimbulkan konflik. Rosana (2015), dalam kajian definisi yang komprehensif menyatakan bahwa konflik terjadi jika terjadi ketidaksepakatan antara dua kelompok yang memiliki entitas sosial tertentu. Selanjutnya, Fariani (2020) memperluas definisi konflik sebagai proses interaktif dalam ketidaksesuaian, perbedaan pendapat atau disonansi di dalam atau di antara entitas sosial.
Status hak milik Desa Harjokuncaran ditetapkan pada tanggal 7 Maret 2003 di Pendopo Agung Kabupaten Malang, berdasarkan Surat Keputusan Pangdam Brawijaya tanggal 3 Maret 2004 nomor: Skep/48/III/2004 tentang kemerdekaan. sebagian tanah perkebunan C.O.Telogorejo Pusat Koperasi Angkatan Darat Kodam V/Brawijaya seluas 179.948 ha dari Panglima TNI sampai Bupati Malang. Selanjutnya, penyerahan pengelolaan lahan (179.948 ha) dilakukan pada tahun 2005 dari pemerintah Kabupaten Malang kepada pemerintah desa Harjokuncaran (Pemuka Desa Harjokuncaran, 2012). Pihak Kopram Kodam V/Brawijaya mengusulkan penggantian kerugian investasi terhadap perkebunan di atas tanah sebesar Rp 207.879.825,- (TNI, 2019)
Merujuk pada catatan status tanah di Desa Harjokuncaran, dapat disimpulkan hingga saat ini belum ada penyelesaian. Artinya, tanah sebagai cagar budaya masih menjadi kontroversi. Ketidakpastian ini sebagai bentuk kekecewaan warga Harjokuncaran terhadap Pemerintah Kota Malang yang tidak mampu menuntaskan kasus ini. Sertifikat diharapkan dapat dibuat untuk mendapatkan hak yang sah atas kepemilikan tanah. Diharapkan juga tidak ada tuntutan atas tanah yang menimbulkan perlawanan antara desa Harjokuncaran dengan pihak pusat koperasi tentara Kodam V/Brawijaya.
Kasus pertanahan di desa Harjokuncaran telah ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Malang. Namun, hingga saat ini belum menemukan solusi yang baik. Peran Badan Pertanahan Nasional tidak hanya sebagai mediator tetapi juga sebagai legalisasi aset. Namun demikian, perbedaan sudut pandang tersebut akan menimbulkan konflik bagi kedua belah pihak yang memiliki argumentasi yang kuat. Asosiasi petani memilih cara untuk melawan penggunaan kekerasan fisik. Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Malang belum menjadi pembuat keputusan karena termasuk kasus yang tidak biasa. Seperti biasa, kasus ini dilakukan dengan mediasi, namun badan pertanahan menyerahkan kasus tersebut ke pusat. Menurut sejarah, tidak ada kasus militer yang dibawa ke pengadilan, baik dalam bentuk perdata maupun urusan negara. Peran badan pertanahan sangat penting. Tanah yang diperoleh warga dibagikan kembali pada zaman Moh.Yamin. Pasalnya, generasi penerus (Hadi Suyatno) belum mendapatkan redistribusi dari Pusat Koperasi Angkatan Darat melalui badan pertanahan. Kasus ini membuat warga kecewa karena tidak ada hasil setelah dilakukan musyawarah untuk memediasi hak yang seharusnya mereka dapatkan (Tempo, 2012).
Letter C atau nota tanah adalah sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabupaten Malang. Soal sertifikat hanya soal selembar kertas. Namun, nilainya tinggi karena terkait dengan kepemilikan orang yang disahkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Harus dilihat dari faktor yang mendorong karena terkadang digunakan untuk kepentingan politik. Negara tidak mau menjamin hak warga negara.
Tidak hanya pihak eksekutif yang peduli terhadap konflik ini, pihak legislatif juga melakukan hal yang sama. Pada tanggal 9 Juli 2012 telah dilakukan rapat koordinasi di lingkungan pemerintah daerah di Kabupaten Malang. Rapat tersebut dihadiri Bupati Malang dan seluruh unsur DPRD Kota Malang. Hasil rapat menyebutkan bahwa pihak Pusat Koperasi Angkatan Darat menyebutkan luas tanah 925,41 ha, dan 179 ha diberikan kepada pemerintah kota Malang yang kemudian diberikan kepada Desa Harjokuncaran. Keputusan rapat tersebut menghasilkan seluruh tanah dikuasai Pusat Koperasi Angkatan Darat seluas 625 ha. Pihak Pusat Koperasi Angkatan Darat telah memberikan bagian utara seluas 75 ha kepada para petani, dan bagian selatan sekitar 179 ha diberikan kepada Kabupaten Malang. Itu kemudian didistribusikan kembali ke pemerintah desa Harjokuncaran. DPRD sebagai perwakilan dalam pemerintahan. Persoalan itu tak kunjung jelas sejak rapat digelar kembali pada 12 Juli 2012. Rapat tersebut mengundang komisi A DPRD Kabupaten Malang. Pemangku kepentingan tanah diminta hadir dalam rapat untuk membahas tanah bekas C.O Telogorejo seluas ±625 ha yang terletak di Desa Harjokuncaran yang dikuasai oleh Kodam V/Brawijaya.
Mediasi tersebut dihadiri oleh beberapa orang penting seperti Komisioner Komnas HAM (Nur Kholis), Dandim 0818 Letkol A. Solihin dan Pusat Koperasi Angkatan Darat Kodam V/ Brawijaya, Ketua DPRD (Drs. Hari Sasongko) dan Komisi A, Pemerintah Kota Malang, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta beberapa perwakilan warga. Nur Kholis menjelaskan bahwa mediasi kedua dilaksanakan berdasarkan usulan pengelolaan lahan Kodam V/Brawijaya tertanggal 10 Mei 2013 no: 027/PG-KT/05/2013 yang ditandatangani oleh Bapak Hadi Suyatno dan Bapak Harianto. Keduanya merupakan perwakilan dari Gabungan Kelompok Tani Desa Harjokuncaran. Mereka mewakili 1.059 warga Harjokuncaran. Masalah utama dari proposal tersebut adalah untuk mengelola lahan seluas 529,5 Ha yang dimiliki oleh setiap penduduk ±5000m².
Pada mediasi kedua, warga hanya ingin mengelola lahan bukan untuk dimiliki. Penduduk lebih damai dalam situasi ini. Hal itu disambut baik oleh sumur Dandim 0818. Ia berkata, “Kami senang dengan kondisi hari ini. Warga lebih tentram karena sudah mengakui tanah itu sekarang milik Kodam V/Brawijaya.”
Gerakan sosial tersebut merupakan aksi bentrok antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat Kodam V/Brawijaya. Itu ungkapan kekecewaan warga. Mereka membuat spanduk dan plang bertuliskan “Tanah Milik Kodam V/Brawijaya”. Kasus ini memunculkan perjuangan. Potensi ini melahirkan gerakan sebagai bentuk kekecewaan warga Desa Harjokuncaran. Badan pertanahan nasional telah berkali-kali melakukan mediasi untuk mencari solusinya. Namun mediasi tersebut tidak dihadiri oleh pihak TNI AD Kodam V/Brawijaya bahkan sudah diundang berkali-kali.
REFERENSI
Fariani, E. (2020). Modul Manajemen Risiko. LAN RI.
Kusworo. (2019). Manajemen Konflik dan Perubahan dalam Organisasi. Cakrawala. Retrieved from https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results
Na’im, Z. (2021). Manajemen Konflik. Penerbit Yayasan Kita Menulis. https://doi.org/10.32478/leadership.v2i2.720
Rosana, E. (2015). Konflik pada Kehidupan Masyarakat (Telaah Mengenai Teori dan Penyelesaian Konflik Pada Masyarakat Modern). Al-AdYan, 10(2), 216–230.
Tempo. (2012). Komnas HAM Selidiki Konflik Tanah di Harjokuncaran. Tempo.Co. Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/421171/komnas-ham-selidiki-konflik-tanah-di-harjokuncaran
TNI. (2019). Sesepuh Kodam V/Brawijaya Berkumpul di Malam Sarasehan Pendopo Agung Trowulan. TNI Adalah Kita. Retrieved from https://tni.mil.id/view-166780-sesepuh-kodam-vbrawijaya-berkumpul-di-malam-sarasehan-pendopo-agung-trowulan.html
Wahyudi, A. (2015). Konflik, Konsep Teori Dan Permasalahan. Jurnal Publiciana, 8(1), 1–15.