Setiap tahun, Indonesia selalu dihadapi dengan berbagai polemik dalam sistem pendidikannya. Baik itu perubahan kurikulum yang cenderung berbeda dari tahun sebelumnya, penghapusan Ujian Nasional di sekolah, sistem full day school, hingga beberapa isu yang sampai saat ini menjadi suatu problematika yang kerap dirasakan oleh beberapa sekolah di Indonesia, seperti kurangnya sarana dan prasarana sekolah, dan lain-lain. Namun, pada penulisan essay kali ini, penulis memfokuskan penulisan ke suatu persoalan yang hingga saat ini belum ada titik terangnya, yaitu mengenai kualitas pengajar di Indonesia yang cenderung memprithatinkan.
Topik ini dipilih penulis sebagai topik utama dalam penulisan karena dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, pengalaman penulis sebagai seorang pelajar. Sebagai seorang pelajar yang pernah bersekolah di sekolah negeri dan swasta, penulis mendapati satu hal yang cukup kontras dari kedua sekolah tersebut jika dibandingkan satu sama lain, yaitu berkaitan dengan cara mengajar dan kerajinan guru sebagai tenaga pengajar. Tanpa menyudutkan sekolah negeri, penulis kerap kali mendapatkan guru yang kurang kompeten dalam mengajar dan cenderung hanya berorientasi pada nilai. Selain itu, di sekolah negeri, penulis kerap mendapatkan banyak waktu kosong pada saat kegiatan belajar mengajar yang disebabkan oleh guru yang tidak mengajar pada jamnya. Berbeda dengan sekolah swasta, tenaga pengajarnya cenderung lebih memperhatikan murid-muridnya. Namun, pandangan subjektif penulis ini tentunya tidak dapat disimpulkan begitu saja sebab di sekolah negeri sendiri, masih terdapat guru yang mengajar dengan penuh perhatian kepada murid-muridnya. Latar belakang yang kedua adalah mengacu pada data Programme for International Student Assessment (PISA) yang dikutip dari magdalene.co. Data PISA pada tahun 2018 menunjukkan skor membaca pelajar Indonesia berada di titik terendah selama mengikuti PISA sejak tahun 2000. Siswa dengan kompetensi Matematika dasar rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA) berjumlah 71,9 persen - terburuk ke-7 dari 77 negara yang disurvei.
Mengacu pada latar belakang yang kedua, banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah kualitas guru yang cenderung memprihatinkan. Seperti yang kita ketahui, guru menjadi salah satu aspek penting dalam pendidikan karena mereka berpengaruh besar terhadap murid-muridnya. Jika guru memiliki sikap yang kurang terlatih dalam mengajar akan membuat murid kesulitan dalam menerima pemahamannya pada mteri yang dipaparkan pada pelajaran.
Salah satu rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah perekrutan guru yang belum memenuhi standar mutu pendidikan yang dibutuhkan, sehingga proses perekrutan tidak dilakukan oleh kompetisi yang maksimal dan menghasilkan output yang tidak professional. Hal ini juga didasari oleh pemerintah Indonesia yang hanya fokus terhadap tuntutan kebutuhan Aparatur Sipil Negara (ASN). Akibatnya, banyak guru yang akhirnya memiliki tingkat kompetisi yang rendah dan malas untuk mengajar. Jika hal ini tidak dibenahi oleh pemerintah Indonesia, peserta didiklah yang akan terdampak selanjutnya dan dapat menurunkan kualitas murid, baik itu kualitas dalam berpikir, literasi, maupun kreativitas. Selain itu, perekrutan guru masih berorientasi pada nilai yang menbuat guru hanya memiliki ilmu saja tanpa didukung oleh kesesuaian metode belajar yang akan dilakukan oleh mereka terhadap murid-muridnya.
Jika kita mengaitkan kasus di atas dengan salah satu pembahasan yang terdapat pada sosiologi pendidikan, penulis akan mengaitkan kasus di atas dengan pemikiran Talcott Parson yang membahas perspektif struktural fungsional. Sebelum mengaitkan dengan pemikiran Talcot, kita harus mengetahui bagaimana sosiologi pendidikan memandang isu ini. Sosiologi pendidikan memandang hal ini sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat (Khaldun, 1986). Salah satu teori yang menjadi paradigma dalam pendidikan adalah teori yang dikemukakan oleh Talcot, yakni teori struktural fungsional. Pada perspektif ini, fungsionalisme lebih banyak ditujukan kepada fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif (Rasyid, 2015). Talcot Parson memandang sekolah berfungsi sebagai sarana sosialisasi dan sebagai seleksi dan alokasi, di mana sekolah memotivasi murid-murid untuk mendapat apa yang mereka inginkan dan mempersiapkan diri dalam dunia pekerjaan. Selain itu, sekolah juga dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul (Rasyid, 2015).
Namun pada kenyataannya, teori struktural fungsionalis tidak berjalan sesuai dengan fungsi sekolah yang dikatakan Taloct Parson. Memang benar, murid-murid di sekolah diberi motivasi untuk menghadapi dunia kerja di masa yang akan datang. Hanya saja, hal itu tidak berjalan dengan bekal yang diberikan guru oleh murid. Murid di Indonesia kurang memiliki bekal berupa pemikiran terhadap nalarnya, minat dan bakat, maupun keahlian tertentu yang dipengaruhi oleh salah satu faktor, yaitu kurangnya kualitas guru itu sendiri. Sehingga, penulis berpendapat bahwa masalah ini harus segera diselesaikan agar kualitas pendidikan Indonesia semakin meningkat dan menghasilkan SDM yang berkualitas dan kompeten. Teori struktural fungsional dapat dijadikan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia agar sekolah dapat berfungsi sebagai sarana sosialisasi, seleksi, dan alokasi.
Referensi
Khaldun, I. (1986). Muqaddimah Ibnu Khaldun. Pustaka Firdaus.
Nabila, A. (2019). Kualitas Guru Indonesia Masih Rendah?. Diakses pada 10 April 2021, dari https://www.kompasiana.com/angginabila2790/5dc9019cd541df48c772cb44/kualitas-guru-indonesia-masih-rendah
Rasyid, M. R. (2015). Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi. Rasyid Tarbiyah Dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Sultan Alauddin No. 36 Samata Gowa, 2(PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI), 274–286.
Revina, S. (2020). Mengapa Kualitas Guru di Indonesia Masih Rendah?. Diakses pada 10 April 2021, dari https://magdalene.co/story/mengapa-kualitas-guru-di-indonesia-masih-rendah
0 komentar:
Posting Komentar